Homoseksual dan Lesbian dalam Pandangan Syari’at (bag II)

Oleh: Amin Wahyu elfatraniy

Homoseks, Lesbian Dan Jerat Hukum Bagi Pelakunya

Homoseks, adalah tindakan dosa yang hanya dilakukan oleh kaum lelaki dari kaum Nabi Luth AS. Allah berfirman:

“Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada kaumnya: ’Mengapa kamu mengerjakan perbuatan faahisyah itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun (di dunia ini) sebelummu?’ Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas. (QS. Al-A’raf:80-81).

Ibnu Katsir berkata, “Allah swt mengutus Nabi Luth AS kepada penduduk kampung Sodom dan sekitarnya, guna menyeru kepada mereka untuk beribadah kepada Allah swt, berbuat amar ma’ruf nahi munkar, serta hal-hal yang haram dan keji, yang dosa tersebut tidak pernah dilakukan oleh seorang pun dari anak cucu Adam sebelumnya, yaitu mendatangi leleki (untuk melampiaskan nafsu birahi), bukan kepada wanita.

Homoseks seperti ini  pertama kali dilakukan oleh penduduk Sodom laknatullah. Amru bin Dinar memberikan argumentasi tentang firman Allah, “(Dosa) yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun (di dunia ini) sebelummu…..” Beliau berkata, “Belum pernah ada lelaki yang menjantani sesamanya sebelum kaum Nabi Luth as.”

Sedangkan komentar yang dilontarkan oleh Walid bin Abdul Malik[1] adalah, “Sekiranya Allah tidak menceritakan berita tentang kaum Nabi Luth kepada kita, maka  kita tidak akan tahu bahwa ada lelaki “menaiki” sesama lelaki.

Dalam hal ini Nabi Luth berkata kepada mereka  (surat Al-A’raf ayat 80-81), “Mengapa kamu mengerjakan perbuatan faahisyah itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun (di dunia ini) sebelummu?’ Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas.” Apakah kalian telah berlaku adil kepada wanita, padahal mereka diciptakan oleh Tuhan untuk kaum laki-laki? Kalian telah keterlaluan dan bodoh sebab telah meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya. Oleh karena itu, pada ayat lain Nabi Luth berkata, “inilah putri-putrikui, jika kalian hendak berbuat (secara yang halal)[2]

Cobalah renungkan, betapa jauh perbuatn kotor tersebut dari fitrah yang suci. Jika Allah swt tidak menceritakan hal itu, maka kita tidak akan pernah mengetahuinya. Homoseksual adalah dosa yang sangat besar. Imam Adz Dzahabi pernah menukil dosa-dosa besar menurut ijma’, ternyata homoseksual merupakan dosa besar yang diharamkan oleh Allah.[3]

Ibnu Hajar Al-Haitami berkata, “Dosa besar berjumlah sekitar  359 macam, atau  260 macam, atau 361 macam, yang salah satunya adalah homoseksual serta sodomi terhadap binatang atau wanita.[4]” Beliau  lalu menggarisbawahi bahwa dari ketiga pendapat tersebut, hanya pendapat pertama yang telah disepakati (359 macam dosa besar)[5].

Dalil dari argumentasi yang menunjukkan bahwa pendapat tersenbut merupakan salah satu dosa besar adalah:

  1. Diriwayatkan dari Ibnu Abbas RA, ia berkata, “Rasulullah saw bersabda,

مَنْ وَجَدْتُمُوهُ يَعْمَلُ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ فَاقْتُلُوا الْفَاعِلَ وَالْمَفْعُولَ بِهِ

“Barangsiapa yang kalian dapati melakukan perbuatan kaum Luth, maka bunuhlah kedua pelakunya” (HR. Abu Daud no. 4462, At Tirmidzi no. 1456 dan Ibnu Majah no. 2561)[6]

Diriwayatkan dari Ibnu Abbas RA, ia berkata , “Rasulullah bersabda,

مَلْعُونٌ مَنْ سَبَّ أَبَاهُ مَلْعُونٌ مَنْ سَبَّ أُمَّهُ مَلْعُونٌ مَنْ ذَبَحَ لِغَيْرِ اللَّهِ مَلْعُونٌ مَنْ غَيَّرَ تُخُومَ الْأَرْضِ مَلْعُونٌ مَنْ كَمَهَ أَعْمَى عَنْ طَرِيقٍ مَلْعُونٌ مَنْ وَقَعَ عَلَى بَهِيمَةٍ مَلْعُونٌ مَنْ عَمِلَ بِعَمَلِ قَوْمِ لُوطٍ

“Terlaknatlah orang yang mencela ayahnya, terlaknatlah orang yang mencela ibunya. Terlaknatlah orang yang menyembelih bukan karena Allah, terlaknatlah orang yang merubah batas tanah, terlaknatlah orang yang membisu (tidak mau memberi petunjuk) terhadap orang yang buta yang mencari jalan. Terlaknatlah orang yang menyetubuhi binatang dan terlaknatlah orang yang berbuat seperti perbuatan kaum Luth.”(HR. Ahmad. Shahih Al  Jami’.5891)

Homoseks adalah Dosa Besar

Para ulama’ Shalafus Shalih mempunyai beberapa argumentasi dalam menjustifikasi jatuhnya hukuman kepada pelaku dosa besar. Pendapat tersebut didukung oleh Ibnu Taimiyah, “Pendapat yang utama adalah argumentasi yang berlandaskan pada pendapat para salaf, seperti: Ibnu Abbas, Abu Ubaid, dan Ahmad bin Hambal. Dosa-dosa kecil tidak akan mendapat hukuman di dunia dan akhirat. Maksudnya, setiap dosa yang berakhir dengan laknat, kemurkaan, atau neraka, berarti termasuk dosa besar. Dengan kaidah ini, seorang dapat selamat dari berbagai noda yang ada pada diri orang lain, sebab setiap dalil menegaskan bahwa ia termasuk dosa besar. Begitu pula dengan setiap dosa yang pelakunya diancam hukuman, dan hukuman pelaku dosa besar adalah tidak akan masuk surga dan tidak akan pernah bisa mencium aroma surga. Mereka juga digolongkan sebagai orang yang ada dalam sabda Rasulullah saw.

من فعله ليس منا

Siapa yang melakukannya, berarti bukan golongan kami[7],”

Menurut kami, justifikasi tersebut menunjukkan justifikasi hukuman untuk homoseksualitas (yang termsuk dosa besar). Kami rasa Anda juga sepakat bahwa dosa homoseksual menyimpan unsur hukuman dan laknat, Na’udzubillah.

Ada beberapa hadits yang mengecam dosa homoseksual, diantaranya adalah:

  1. Hadits yang diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah ra. Ia berkata, Rasulullah saw bersabda,

إِنَّ أَخْوَفَ مَا أَخَافُ عَلَى أُمَّتِي عَمَلُ قَوْمِ لُوطٍ

“Sesungguhnya yang paling aku takuti (menimpa) umatku adalah perbuatan kaum Luth” [HR Ibnu Majah : 2553, 1457. Tirmidzi: 1377.][8]

  1. Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma, dia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

َلَعَنَ اللَّهُ مَنْ عَمِلَ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ وَلَعَنَ اللَّهُ مَنْ عَمِلَ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ وَلَعَنَ اللَّهُ مَنْ عَمِلَ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ

“ Allah melaknat siapa saja yang melakukan perbuatan kaum Luth, (beliau mengulanginya sebanyak tiga kali)” [HR Nasa’i dalam As-Sunan Al-Kubra IV/322 No. 7337, Ahmad: 2677, 2763, 2764, 2765]

  1. Dari Ibnu Abbas Radhiyallahu ‘anhuma berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

لَا يَنْظُرُ اللَّهُ إِلَى رَجُلٍ أَتَى رَجُلًا أَوْ امْرَأَةً فِي الدُّبُرِ قَالَ أَبُو عِيسَى هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ

“ Allah tidak mau melihat kepada laki-laki yang menyetubuhi laki-laki atau menyetubuhi wanita pada duburnya” [HR Tirmidzi : 1086, Nasa’i : 1456 dan Ibnu Hibban : 1456][9]

Masih banyak hadits yang menjelaskan tentang dosa homoseksual, namun para ulama mempermasalahkan sanad-sanadnya.

Komentar para ulama

Baghawi berkata, “Para ulama berbeda pendapat mengenai hukuman untuk tindak homoseksual. Di antara mereka ada yang berpendapat bahwa pelakunya harus dijatuhi hukum yang setimpal dengan hukukman zina, yakni jika pelakunya telah menikah (muhshan) maka ia harus dirajam, namun jika belum menikah maka hanya didera (dicambuk) seratus kali. Demikian pula pendapat Sa’id bin Musayyab, Atha’ bin Abu Rabah, Hasan Qatadah dan Ibrahim Nakha’i. Ada pula pendapat dari Ats-Tsauri dan Auza’I, yang merupakan terkuat dalam madzhab Syafi’i. Pendapat ini juga dipegang oleh Abu Yusuf dan Muhammad.

Untuk objek (korban) homoseksual, menurut Syafi’i ia layak didera seratus kali cambukan dan diasingkan satu tahun, tanpa diterminasi antara pelaku laki-laki dan wanita, sudah menikah (muhshan) atau masih bujang, karena konteks kedudukan dubur dalam hukum sangat lemah, yakni tidak termasuk dalam kategori hal yang dianggap sebagai perangkat pernikahan. Oleh sebab itu, pelaku homoseksual (yang melakukan sodomi) tidak layak dijatuhi hukuman layaknya hukuyman yang diberikan kepada para pezina yang muhshan.

Ada yang berpendapat bahwa pelaku homoseksual harus dirajam, baik yang sudah menikah maupun yang masih bujang. Pendapat ini sebagaimana dinilai oleh Sa’id bin Jubair dan Mujahid dari Ibnu Abbas[10]. Pendapat ini juga disepakati oleh Asy-Sya’bi. Namun menurut Az-Zuhri pendapat ini hanya dianut oleh Malik, Ahmad dan Ishaq.

Bahkan, Hammad meriwayatkan sebuah pendapat dari Ibrahim An-Nakha’i, yang mengatakan, “Andai ada orang yang harus dirajam dua kali, maka itu adalah pelaku homoseksual.”

Syafi’i mengatakan bahwa palaku homoseksual harus dijatuhi hukuman mati, baik palaku (subjek) maupun yang diperlakukan (objek) sodomi, sebagaimana yang tersurat dalam hadits.

Abu Hanifah menilai, pelakunya harus diberi pelajaran (ta’zir), bukan dijatuhi hukuman. Diriwayatkan oleh jabir dan Abu Hurairah dari Nabi saw mengenai hukuman yang dijatuhkan kepada pelaku homoseksual, bahwa pelakunya harus dibunuh, baik subjek maupun objeknya[11].

Ulasan Argumentasi Masalah

Sudah menjadi kesepakan seluruh Ulama atas keharaman perbuatan homoseksual dan lesbian. Mereka akan mendapatkan balasan yang sangat keras di dunia maupun di akhirat. Namun para ulama berbeda pendapat dalam pelaksanaan hukuman bagi pelakunya. Perbedaan itu dapat di klarifikasikan sebagai berikut:

  1. Sebagian ulama menetapkan hukuman bagi pelakunya adalah sebagaimana pelaku zina. Jika palakunya masih bujang (ghoiru muhshan) maka didera atau cambuk seratus kali dan diasingkan selama setahun, jika pelakunya sudah berkeluarga (muhshan) maka pelakunya dirajam.
  2. Sebagian ulama menetapkan hukuman bagi palakunya adalah harus diberi pelajaran (ta’zir), bukan dijatuhi hukuman bunuh.
  3. Sebagian ulama lain menetapkan hukuman bagi pelakunya adalah di bunuh secara mutlak.[12]

Mengenai pendapat yang mengatakan bahwa pelaku homoseksual harus dijatuhi hukumnan zina, mereka berpegang pada hadits Nabi saw yang mengatakan,

اذا أتى الرجل الرجل فهما زانيان

Apabila ada lelaki mendatangi (berhubungan intim) dengan sesame lelaki, maka keduanya dianggap berzina.”(HR. Al Baihaqi [8/233])

Mereka juga mengatakan bahwa homoseksual merupakan salah satu bentuk perzinaan, sebab dilakukan dengan memasukkan kemaluan pada kemaluan orang lain.

Pendapat ini dibantah oleh Mubarakfuri, “Hadits tersebut diriwayatkan oleh Baihaqi dari hadits Abu Musa yang di dalam sanadnya terdapat Muhammad bin Abdurrahman, orang yang diingkari oleh Abu Hatim. Sedangkan baihaqi sendiri mengatakan bahwa ia tidak mengenalnya. Jadi, dengan sanad seperti ini, hadits tersebut dianggap mungkar.[13]

Dalam konteks penyelarasan justifikasi hukum homoseksual dengan hukum perzinaan yang disimpulkan melalui jalur analogi (Qiyas) dan opini, yang  mengatakan bahwa homoseksual merupakan salah satu bentuk perzinaan  merupakan hukum yang sifatnya absolut dan spesifik. Hal ini berlaku berdasarkan generalitas (keumuman) dalil-dalil tentang zina yang secara eksplisit memberikan dikotomi hukum bagi pelaku zina yang gadis dan janda, juga kejelasan dalilnya yang hanya dikhususkan untuk konteks kaum Nabi Luth AS.

Keharusan membatalkan penggunaan analogi (qiyas) tersebut merupakan bagian dari keharusan yang disebabkan oleh kontekstual kasus sebagaimana mestinya. Sebab, analogi tersebut menyalahi aturan yang telah ditegaskan oleh ilmu ushul[14].

Adapun pendapat seperti yang dikemukakan oleh Abu Hanifah yang mengatakan bahwa pelaku homoseksual hanya diberi pelajaran (Ta’zir), adalah pendapat yang lemah dan bertentangan dengan teks nash hadits yang mengatakan,

مَنْ وَجَدْتُمُوهُ يَعْمَلُ عَمَلَ قَوْمِ لُوطٍ فَاقْتُلُوا الْفَاعِلَ وَالْمَفْعُولَ بِهِ

“Siapa saja yang kamu dapatkan telah melakukan dosa (seperti) kaum Nabi Luth, maka bunuhlah ia , baik pelaku (subjek) maupun yang diperlakukan (objek)nya.” (HR. Abu Daud)

Dengan rendah hati kami harus mengatakan kekeliruan pendapat Abu Hanifah tersebut. Mungkin saja nash hadits tersebut belum sampai kepada beliau, atau beliau kurang kredibel. Semoga Allah merahmati pada imam secara umum, khususnya Abu Hanifah, serta siapa saja yang khilaf.

Dengan demikian, dapat dipastikan kelemahan pendapat yang mengatakan bahwa pelaku homoseksual hanya diberi pelajaran (Ta’zir) tanpa dijatuhi hukuman mati. Oleh karena itu, Mubarakfuri berkata, “Pendapat Abu Hanifah memang cenderung bermuatan khilaf, khususnya dalam penjabaran tentang dalil-dalil yang berkenaan tentang justifikasi homoseksual dan dalil-dalil tentang zina secara umum.”

Lebih lanjut, beliau berkata (mengomentari seputar kalayakan penggunaan kaidah, “Kekeliruanku dalam memberi apologi [pengampunan] adalah lebih baik daripada kekeliruanku dalam mengimplementasikan hukuman yang selayaknya.”), “Itu adalah alat untuk bersikap lemah dalam justifikasi.”

Beliau menganggap hal itu tertolak, karena dilihat dari konteksnya, kaidah tersebut hanya layak digunakan dalam kondisi kasus yang ngejelimet dan berpolemik luas. Sedangkan konteks kasus justifikasi hukum homoseksual tidak begitu berpolemik[15].

Adapun pendapat yang mengatakan bahwa pelaku homoseksual mutlak mendapatkan ganjaran hukum bunuh, baik bagi yang telah menikah (muhshan) maupun lajang, adalah pendapat yang yang kuat dan sangat relevan dengan hadits Nabi saw tadi serta jauh dari berbagai kontradiksi. Terlebih, hadits tersebut telah sangat eksplisit menegaskan tentang justifikasinya secara langsung.

Salah satu faktor yang menguatkan pendapat hukum bunuh bagi pelaku homoseksual, baik sudah menikah (muhshan) maupun lajang, adalah pendapat para ulama yang telah menukil ijma’ (konsensus) para sahabat, diantaranya ialah Ibnu Qudamah[16] dan Ibnu Qayyim[17]. Begitu pula komentar Baghawi yang telah kita paparkan pada pembahasan lalu.

Nash hadits Rasulullah tersebut juga memiliki keistimewaan lain, yakni tidak adanya pembedaan implementasi  hukuman antara pelaku yang telah menikah (muhshan) dengan yang masih lajang. Nash tersebut justru memberikan pintu generalitas justifakasi hukum bunuh bagi pelaku zina secara umum dan pasti.

Komentar kami seputar dalil-dalil yang membahas tentang justifikasi hukuman yang layak dijatuhkan kepada palaku homoseksual yang menjijikkan tersebut sama sekali tidak memihak pada suatu pendapat. Kami hanya berupaya menyajikan bukti argumentatif yang lepas dari polemik dan kontradiksi. Komentar serta pembenaran yang kami kemukakan tadi merupakan pendapat yang populer dan sesuai dengan ijma’ (konsensus) para sahabat serta jumhur ulama.

Kami memohon maaf yang sebesar-besarnya kepada para pembaca sekalian, atas pembahasan kami yang melebar mengenai hukuman pelaku homoseksual ini. Kami menilai pemaparan pembahasan ini cukup signifikan, mengingat kecenderungan kalangan pelaku maksiat untuk menggunakan dalil-dalil yang lemah guna melegalisasi kepentingan hawa nafsu mereka.

Sebenarnya kami sangat ingin memaparkan lebih lanjut seputar fakta kelemahan berbagai argumentasi lemah yang dijadikan alasan oleh para pelaku kekejian tersebut[18], tapi pada sisi lain kami belum mendapati referensi yang kapabel yang mengangkat secara jeli dan kritis tema pembahasan tersebut. Semoga Allah berkenan memberikan taufik dan hidayah-Nya.

Bukti-bukti kekejian kaum Luth

Banyak sekali ayat Al-Qur’an yang membuktikan kekejian kaum Nabi Luth as, gambaran akan adzab dan hukuman yang ditimpakan kepada mereka. Semua ini mereka dapatkan setelah upaya terang-terangan mereka dalam melakuan kekejian, dan kekejian ini tidaklah tertandingi oleh tindakan durhaka lainnya kepada Allah selain kemusyrikan. Oleh karena itulah Allah swt menurunkan adzab yang belum pernah ditimpakan kepada kaum manapun sebelumnya.

Berikut ini adalah ayat-ayat Al-Qur’an yang membuktikan kondisi kehidupan kaum Nabi Luth.

  1. 1. Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada mereka: “Mengapa kamu mengerjakan perbuatan faahisyah itu , yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun (di dunia ini) sebelummu?”Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas. Jawab kaumnya tidak lain hanya mengatakan: “Usirlah mereka (Luth dan pengikut-pengikutnya) dari kotamu ini; sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang berpura-pura mensucikan diri.”Kemudian Kami selamatkan dia dan pengikut-pengikutnya kecuali isterinya; dia termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan). Dan Kami turunkan kepada mereka hujan (batu); maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berdosa itu.”(QS. Al A’raf: 80-84)

Pembahasan tentang dua ayat pertama dalam firman Allah di atas telah kita bahas pada awal pembahasan bab ini seputar komentas Ibnu Katsir tentang ayat tersebut.

  1. 2. “Dan tatkala datang utusan-utusan Kami (para malaikat) itu kepada Luth, dia merasa susah dan merasa sempit dadanya karena kedatangan mereka, dan dia berkata: “Ini adalah hari yang amat sulit .”Dan datanglah kepadanya kaumnya dengan bergegas-gegas. Dan sejak dahulu mereka selalu melakukan perbuatan-perbuatan yang keji . Luth berkata: “Hai kaumku, inilah puteri-puteriku, mereka lebih suci bagimu, maka bertakwalah kepada Allah dan janganlah kamu mencemarkan (nama)ku terhadap tamuku ini. Tidak adakah di antaramu seorang yang berakal ?” Mereka menjawab: “Sesungguhnya kamu telah tahu bahwa kami tidak mempunyai keinginan terhadap puteri-puterimu; dan sesungguhnya kamu tentu mengetahui apa yang sebenarnya kami kehendaki.” Luth berkata: “Seandainya aku ada mempunyai kekuatan (untuk menolakmu) atau kalau aku dapat berlindung kepada keluarga yang kuat (tentu aku lakukan).” Para utusan (malaikat) berkata: “Hai Luth, sesungguhnya kami adalah utusan-utusan Tuhanmu, sekali-kali mereka tidak akan dapat mengganggu kamu, sebab itu pergilah dengan membawa keluarga dan pengikut-pengikut kamu di akhir malam dan janganlah ada seorangpun di antara kamu yang tertinggal , kecuali isterimu. Sesungguhnya dia akan ditimpa azab yang menimpa mereka karena sesungguhnya saat jatuhnya azab kepada mereka ialah di waktu subuh; bukankah subuh itu sudah dekat?”. Maka tatkala datang azab Kami, Kami jadikan negeri kaum Luth itu yang di atas ke bawah (Kami balikkan), dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi, Yang diberi tanda oleh Tuhanmu, dan siksaan itu tiadalah jauh dari orang-orang yang zalim.(QS. Huud: 77-83)

Ibnu katsir mengatakan, “Allah swt mengabarkan tentang kedatangan utusan-utusan-Nya, yaitu para malaikat, untuk memberitahukan kepada Nabi Ibrahim as bahwa Allah akan menghancurkan kaum Nabi Luth as di malam itu. Lalu para utusan Allah itu pun meninggalkan Nabi Ibrahim as dan mereka pergi menemui Nabi Luth as (ada pendapat yang mengatakan saat itu Nabi Luth tengah berada di kebunnya, ada juga yang mengatakan ia tengah bereda di dalam rumahnya). Para malaikat itu memiliki bentuk yang indah, paras yang elok, dan wajah yang menawan, semuanya itu dijadikan sebagai bentuk ujian dari Allah. Mereka juga dibekali ilmu yang pengetahuan yang luas dan bukti yang kuat.

Lalu Allah merubah penampilan mereka menjadi penampilan buruk. Dan hal ini membuat hati Nabi Luth resah dan khawatir jika beliau tidak sempat menjamu mereka sebagai tamu dan para malaikat itu justru akan dijamu oleh salah seorang kaumnya lalu mereka diperlakukan dengan cara tidak bermoral.

Mengomentari ayait ini: “…. Dan dia berkata, ‘Ini adalah hari yang amat sulit’,” Ibnu Abbas mengatakan bahwa maksudnya adalah ujian yang berat, karena Nabi Luth menyadari bahwa sebenarnya ia mampu melindungi utusan Allah dari ketidakmoralan kaumnya, namun Luth merasa hal itu sangatlah memberatkan.

Qatadah menyebutkan, “Para malaikat mendatangi Nabi Luth di kebunnya, kemudian meminta Nabi Luth untuk menjamu mereka dan Nabi Luth merasa malu menghadapi kedatangan para tamunya ini, hingga kemudian beliau berjalan di depan mereka. Dalam perjalanan tersebut, Nabi Luth berkata dengan ucapan yang seakan-akan menyindir agar para tamunya itu urung bertamu kepadanya. Beliau berkata, ‘Demi Allah! Setahuku, tidak ada seorang pun penduduk bumi ini yang budi pekertinya lebih buruk dibandingkan penduduk desa ini,’ Sambil berjalan perlahan-lahan, beliau mengulangi pernyataan tersebut hingga empat kali.”

Qatadah melanjutkan, “Mereka diperintahkan agar tidak dihancurkan sebelum disaksikan oleh nabi mereka.” Sedangkan As-Sa’adiy mengatakan, “Malaikat keluar dari Nabi Ibrahim menuju kampung Nabi Luth. Siang harinya mereka telah tiba dan bertemu dengan putri Nabi Luth yang tengah mengambil air minum. Mereka bertanya kepadanya, ‘Apakah ada orang di rumah?’ Dia menjawab, ‘Tetaplah kalian di sini sampai aku kembali.’ Kemudian putri Nabi Luth pergi memberitahukan ayahnya, ‘Wahai ayahku, aku telah melihat beberapa pemuda diluar kota. Aku belum pernah melihat wajah penduduk kampung ini yang tampan dari mereka dan mereka pernah tersentuh oleh kaummu.’ Tradisi kaummya (dengan kecenderungan penyimpangan seksual) mambuat Nabi Luth urung menerima tetamu yang berkelamin laki-laki,  maka beliau berinisiatif menjemput para tamunya itu dengan diam-diam. Dan tidak seorangpun yang tahu kecuali penghuni rumahnya hingga istri Nabi Luthlah yang keluar memberitahukan kaumnya akan kedatangan para tamu tersebut hingga mereka pun kemudian datang berbondong-bondong ke rumah Nabi Luth.

Dan firman Allah, “…. Luth berkata, ‘Hai kaumku, inilah putri-putri (negeriku) mereka lebih suci bagimu’…” Ungkapan ini merupakan konteks himbauan beliau kepada kaumnya untuk menunjukkan bahwa para remaja putri di negeri Nabi Luth sebenarnya lebih layak untuk di senangi oleh kaum prianya. Upaya ini merupakan himbauan Nabi Luth untuk membimbing kaumnya kepada hal-hal positif bagi mereka di dunia dan Akhirat. Sebagaimana ditegaskan dalam ayat lain, “Mengapa kamu mendatangi jenis lelaki di antara manusia,” (QS. As-Syu’araa’:165)

Firman Allah, “Mereka berkata, ‘Dan bukankah kami telah melarangmu dari (melindungi) manusia,? (Al Hijr: 70) Maksudnya adalah: Bukankah kami telah melarangmu untuk menjamu tamu laki-laki?

Luth berkata, Luth berkata: “Inilah puteri-puteriku (kawinlah dengan mereka), jika kamu hendak berbuat (secara yang halal)”.(Allah berfirman) : “Demi umurmu (Muhammad), sesungguhnya mereka terombang-ambing di dalam kemabukan (kesesatan)”.(QS. Al-Hijr:71-72)

Tentang firman Allah dalam ucapan Nabi Luth, “Hai kaumku, inilah putri-putri (negeri)ku, mereka lebih suci bagimu,” mujahid mengatakan meksudnya adalah mereka bukanlah putri-putri beliau, tapi putri-putri dari umatnya, karena setiap nabi adalah bapak dari umatnya. Pendapat ini juga dibenarkan oleh Qatadah dan beberapa perawi lainnya. Ibnu Juraih mengatakan bahwa maksud ayat tersebut adalah, Nabi Luth memerintahkan kaumnya untuk menikahi para wanita, jika mereka berkeinginan untuk menjauh dari kebejatan moral. Sementara itu Sa’id bin Jubair  mengatakan, “Para wanita (istri dan wanita muda) dari pengikut Nabi Luth adalah layaknya putri-putri beliau, karena Nabi Luth adalah bapak bagi kaumnya yang laki-laki.

Allah berfirman, “Maka tatkala datang azab Kami, Kami jadikan negeri kaum Luth itu yang di atas ke bawah (Kami balikkan), dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi, Yang diberi tanda oleh Tuhanmu, dan siksaan itu tiadalah jauh dari orang-orang yang zalim.”

Firman Allah, “Maka tatkala datang azab Kami, yakni saat matahari terbit, “…Kami jadikan negeri kaum Luth itu yang di atas..” yakni kampung Sodom  “..ke bawah (Kami balikkan)..” seperti disebutkan dalam firman Allah, “Lalu Allah menimpakan atas negeri itu adzab besar yang menimpanya.” (QS. An Najm: 54) Kami hujani mereka dengan batu bola api dari neraka (sijjiil), yang dalam bahasa Persia bermakna batu dari gumpalan tanah. Hal ini sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Abbas dan ulama lainnya.

Dan firman Allah, “…dengan (adzab) yang bertubi-tubi.” Beberapa ulama berpendapat mengenai maksudnya, yaitu adzab yang bertubi-tubi yang turun dari langit, atau adzab yang dipersiapkannya. Ada pula ulama yang megatakan bahwa meksudnya adalah adzab yang turun secara beruntun menimpa mereka.

Sedang firman Allah, “…(adzab) yang diberi tanda oleh Tuhanmu..” maksudnya: dikelilingi oleh adzab yang membaral. Para ulama mengatakan, bahwa ayat tersebut diturunkan kepada penduduk negeri (Sodom) dan kampung-kampung sekitarnya. Hal ini kemudian menjadi bahan pergunjingan banyak orang. Rumornya, ada batu yang tiba-tiba jatuh dari langit dan menimpa orang banyak, kemudian menyebar hingga ke berbagai penjuru bumi, batu itu dapat menghancurkan mereka hingga tidak seorangpun yang tersisa.

Mujahid mengatakan, “Malaikat Jibril menghancurkan kaum Nabi Luth, hewan ternak, dan rumah-rumah mereka. Ia mengangkut mereka bersama dengan hewan piaraan dan benda-benda lainnya lalu membalikkannya. Teriakan mereka pun terdengar hingga oleh seluruh penghuni langit. Dan malaikat Jibril mengangkut mereka dengan sayap kanannya.”

Dan firman Allah, “…dan Kami menghujani mereka…” maksudnya menghujani kampung mereka dengan sijjiil (batu bola api dari neraka), demikian komentar As-Sa’adiy. Sedangkan firman Allah yang mengatakan, “…dan siksaan itu tiadalah jauh dari orang-orang yang zhalim.” Maksudnya: Tiadalah yang menyamai jauhnya siksaan ini dari orang-orang yang berbuat kezhaliman[19].

  1. 3. Firman Allah, “Berkata (pula) Ibrahim: “Apakah urusanmu yang penting (selain itu), hai para utusan?”Mereka menjawab: “Kami sesungguhnya diutus kepada kaum yang berdosa,kecuali Luth beserta pengikut-pengikutnya. Sesungguhnya Kami akan menyelamatkan mereka semuanya, kecuali istrinya. Kami telah menentukan, bahwa sesungguhnya ia itu termasuk orang-orang yang tertinggal (bersama-sama dengan orang kafir lainnya)”.Maka tatkala para utusan itu datang kepada kaum Luth, beserta pengikut pengikutnya,  ia berkata: “Sesungguhnya kamu adalah orang-orang yang tidak dikenal”. Para utusan menjawab: “Sebenarnya kami ini datang kepadamu dengan membawa azab yang selalu mereka dustakan. Dan kami datang kepadamu membawa kebenaran dan sesungguhnya kami betul-betul orang-orang benar. Maka pergilah kamu di akhir malam dengan membawa keluargamu, dan ikutlah mereka dari belakang dan janganlah seorangpun di antara kamu menoleh kebelakang dan teruskanlah perjalanan ke tempat yang di perintahkan kepadamu”. Dan telah Kami wahyukan kepadanya (Luth) perkara itu, yaitu bahwa mereka akan ditumpas habis di waktu subuh. Dan datanglah penduduk kota itu (ke rumah Luth) dengan gembira (karena) kedatangan tamu-tamu itu . Luth berkata: “Sesungguhnya mereka adalah tamuku; maka janganlah kamu memberi malu (kepadaku),dan bertakwalah kepada Allah dan janganlah kamu membuat aku terhina”.Mereka berkata : “Dan bukankah kami telah melarangmu dari (melindungi) manusia ? Luth berkata: “Inilah puteri-puteriku (kawinlah dengan mereka), jika kamu hendak berbuat (secara yang halal)”. (Allah berfirman) : “Demi umurmu (Muhammad), sesungguhnya mereka terombang-ambing di dalam kemabukan (kesesatan)”. Maka mereka dibinasakan oleh suara keras yang mengguntur, ketika matahari akan terbit. Maka Kami jadikan bahagian atas kota itu terbalik ke bawah dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang keras. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang memperhatikan tanda-tanda. Dan sesungguhnya kota itu benar-benar terletak di jalan yang masih tetap (dilalui manusia).Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi orang-orang yang beriman.(Qs. Al-Hijr: 57-77)

Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’adi yang mengatakan bahwa dalam kisah ini menyimpan beberapa pelajaran yang layak dipetik. Di antaranya adalah bahwa Allah memberikan pelindungan kepada Nabi Ibrahim, sedangkan Nabi Luth adalah pengikut dan orang yang mengimani Nabi Ibrahim, bahkan ia layaknya murid Nabi Ibrahim. Ketika Allah akan membinasakan kaum Nabi Luth saat mereka benar-benar telah bersikap membangkang dan layak mendapatkan adzab, Allah memerintahkan para utusan-Nya agar mendatangi Nabi Ibrahim dan memberitakan kabar tentang kejadian yang akan terjadi pada kaum muridnya tersebut. Nabi Ibrahim pun mendebat para utusan dan tidak menyetujui solusi dihancurkannya kaum Nabi Luth. Namun para utusan Allah berhasil meyakinkan Nabi Ibrahim.

Begitu juga halnya Nabi Luth dalam menyikapi kejadian yang akan menimpa keluarga dan penduduknya kampungnya. Ia pun iba dan berbelas kasih kepada mereka. Namun takdir Allah telah ditetapkan dengan motif-motifnya hingga mereka dimurkai dan dihancurkan oleh Allah. Sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya, “Sesungguhnya saat jatuhnya adzab kepada mereka ialah di waktu Subuh; bukankah Subuh itu sudah dekat?”

Pelajaran lainnya adalah: jika Allah swt menghendaki untuk menghancurkan suatu kampung, maka kejahatan dan keangkuhan penduduknya akan kian menjadi-jadi. Hingga kemudian Allah mendatangkan siksaan-Nya yang seimbang dengan perbuatan yang mereka lakukan[20].

  1. 4. Firman Allah, “Dan kepada Luth, Kami telah berikan hikmah dan ilmu, dan telah Kami selamatkan dia dari (azab yang telah menimpa penduduk) kota yang mengerjakan perbuatan keji. Sesungguhnya mereka adalah kaum yang jahat lagi fasik, dan Kami masukkan dia ke dalam rahmat Kami; karena sesungguhnya dia termasuk orang-orang yang saleh.”(Qs. Al Anbiyaa’: 74-75)

As-Sa’adi mengatakan bahwa firman Allah tersebut merupakan bentuk penganugerahan Allah kepada Rasul-Nya, Luth, berupa pengetahuan akan syariat, dan keahlinnya dalam memutuskan perkara (justifikasi hukum untuk memecahkan masalah) di antara manusia dengan cara yang benar.

Allah telah mengutus rasul-rasu-Nya kepada kaumnya masing-masing agar menyeru mereka untuk beribadah kepada Allah dan melarang mereka untuk berbuat kekejian. Lalu, setelah mereka menolak seruan tersebut, Allah membalikkan kampung-kampung mereka dan membinasakan mereka semua, karena “….mereka termasuk orang-orang yang fasik..” Mereka mendustakan para penyeru Allah dan mengancam akan mengusirnya. Namun Allah menyelamatkan Nabi Luth dan keluarganya serta memerintahkan Nabi Luth beserta pengikutnya untuk menyelinap pergi pada malam hari, menjauh dari kampungnya hingga mereka terhindar dan terselamatkan. Begitulah karunia dan pertolongan Allah kepada orang-orang yang taat.

Adapun ayat yang mengatakan, “…Dan Kami (Allah) masukkan dia ke dalam rahmat Kami..” menunjukkan bahwa siapa saja yang telah masuk ke dalam rahmat Allah, maka ia termasuk orang terlindung dari berbagai macam kekhawatiran, sehingga mereka akan meraih semua kebaikan dan kebahagiaan, kebajikan dan ketentraman, serta pujian. Sebab, mereka termasuk orang-orang yang shalih, yang mengerjakan amalan-amalan shalih, berkepribadian yang suci. Allah pun memperbaiki keburukan mereka. Karena, keshalihan adalah motif yang membuat seorang hamba dapat masuk ke dalam rahmat Allah, sedangkan keburukan adalah motif keharaman seorang hamba untuk meraih rahmat dan kebaikan Allah.

Orang pertama yang meraih kebajikan adalah para nabi Allah, maka wajarlah jika mereka berhak mendapat gelar sebagai orang baik (shalaah). Dalam hal ini Nabi Sulaiman pernah berdo’a, “…Dan masukkanlah aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang shalih..”(An Naml:19)[21]

Alangkah baik dan indah komentar yang dikemukakan oleh As-Sa’adi tersebut. Cobalah renungkan, dengan izin Allah pengetahuan tersebut dapat mendatangkan manfaat.

  1. 5. “Kaum Luth telah mendustakan rasul-rasul, ketika saudara mereka, Luth, berkata kepada mereka: mengapa kamu tidak bertakwa?” Sesungguhnya aku adalah seorang rasul kepercayaan (yang diutus) kepadamu, maka bertakwalah kepada Allah dan taatlah kepadaku. Dan aku sekali-kali tidak minta upah kepadamu atas ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semeta alam. Mengapa kamu mendatangi jenis lelaki di antara manusia, dan kamu tinggalkan isteri-isteri yang dijadikan oleh Tuhanmu untukmu, bahkan kamu adalah orang-orang yang melampaui batas”. Mereka menjawab: “Hai Luth, sesungguhnya jika kamu tidak berhenti, benar-benar kamu termasuk orang-orang yang diusir” Luth berkata: “Sesungguhnya aku sangat benci kepada perbuatanmu”. (Luth berdo’a): “Ya Tuhanku selamatkanlah aku beserta keluargaku dari (akibat) perbuatan yang mereka kerjakan”. Lalu Kami selamatkan ia beserta keluarganya semua, kecuali seorang perempuan tua (isterinya), yang termasuk dalam golongan yang tinggal. Kemudian Kami binasakan yang lain. Dan Kami hujani mereka dengan hujan (batu) maka amat jeleklah hujan yang menimpa orang-orang yang telah diberi peringatan itu. Sesunguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat bukti-bukti yang nyata. Dan adalah kebanyakan mereka tidak beriman. Dan sesungguhnya Tuhanmu, benar-benar Dialah Yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang.”(Qs.As-Syu’araa: 160-175)
  2. 6. “Dan (ingatlah kisah) Luth, ketika dia berkata kepada kaumnya: “Mengapa kamu mengerjakan perbuatan fahisyah itu sedang kamu memperlihatkan(nya)?” “Mengapa kamu mendatangi laki-laki untuk (memenuhi) nafsu (mu), bukan (mendatangi) wanita? Sebenarnya kamu adalah kaum yang tidak mengetahui (akibat perbuatanmu)”. Maka tidak lain jawaban kaumnya melainkan mengatakan: “Usirlah Luth beserta keluarganya dari negerimu. karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang (menda’wakan dirinya) bersih “. Maka Kami selamatkan dia beserta keluarganya, kecuali isterinya. Kami telah mentakdirkan dia termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan). Dan Kami turunkan hujan atas mereka (hujan batu), maka amat buruklah hujan yang ditimpakan atas orang-orang yang diberi peringatan itu.”(QS. An Naml:54-58)

Abdurrahman As-Sa’adi  menjelaskan mengenai maksud firman Allah tersebut, “Dan ingatlah tentang sosok hamba dan Rasul Kami, Luth, berkataa kepada kaumnya untuk menasihati atau menyeru untuk beribadah kepada Allah, ‘…Mengapa kalian mengerjakan kekejian itu..’ yakni, perbuatan keji yang dapat merusakakal dan fitrah, seta bertentangan dengan hukum syariat. ‘…sedang kamu melihatnya…’ Padahal kalian mengetahui keburukan tindakan kalian itu namun kalian tetap saja menentang hingga kemudian kalian berbuat zhalim dan melukai Allah.”

Lebih lanjut  beliau menafsirkan  kekejian yang  dimaksud dalam firman Allah, “Mengapa kamu  mendatangi laki-laki untuk (memenuhi) nafsu (mu), bukan (mendatangi) wanita?” Maksudnya: Mengapa kalian bisa melakukan hal sseperti itu, kalian lampiaskan nafsu birahi kalian kepada sesame lelaki atau dubur-dubur mereka dan kalian tinggalkan para wanita yang sebenarnya diciptakan untuk kalian dan sebagai tempat suci  bagi laki-laki dalam menyalurkan hasrat seksualnya, sementara kalian malah bertingkah sebaliknya. Kalian memandang  buruk sesuatu yang sebenarnya baik. “Sebenarnya kamu adalah kaum yang tidak mengetahui (akibat perbuatanmu).” Maksudnya:kalian telah bersikap keterlaluan terhadap segala hukum Allah dan melanggar segala larangan-Nya.

Sedangkan firman Allah, “Maka tidak lain jawaban kaumnya” (tidak) menerima dan tidak mencegah serta tidak menerima peringatan. Tapi mereka memberikan jawaban yang berupa pembangkangan dan permusuhan serta mengancam Nabi dan utusan Allah yang jujur itu dengan mengusir dari negeri dan tanah leluhurnya, “Usirlah Luth beserta keluarganya dari negerimu.”

Ungkapan tersebut seakan mengesankan timbulnya pertanyaan kepada mereka:mengapa kalian menyiksa mereka dan dosa apa yang telah mereka perbnuat sampai mereka harus kalian usir? Kaum Luth mengklaim, “..karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang (mendakwakan dirinya) bersih..” Maksudnya: kaum Luth bersenang-senang dengan melakukan kegiatan homoseksual dan melakukan sodomi (bersenggama melalui anus atau dubur kaum laki-laki). Maka Allah mengutuk mereka karena mereka memutarbalikkan fakta dengan menganggap hal-hal baik sebagai hal-hal buruk. Mereka belum pernah merasa puas dengan kemaksiatan, da nmreka menolak untuk menerima nasihat, bahkan mereka rela mengusir Nabi Luth dari negerinya. Mereka mengatakan, “Usirlah Luth beserta keluarganya dari megerimu, karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang (mendakwakan dirinya) bersih.”

Dengan alasan ini, kontek yang dapat dipahami adalah bahwa kehadiran kaum Luth hanya sebagai sampah polusi, penyebab turunnya siksaan di negeri ini dan mengganggu keselamatan orang-orang yang pergi mengungsi.

Dalam konteks ini, Allah berfirman, “Maka Kami selamatkan dia beserta keluarganya, kecuali isterinya. Kami telah mentakdirkan dia termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan).(Qs. An Naml: 57)

Dengan demikian, ketika malaikat datang sebagai tamu dan kedatangannya terdengar oleh kaum Nabi Luth mereka segera berdatangan dengan maksud jahat. Sementara warga yang lain hanya menutup pintu rumah mereka. Konsentrasi pesoalan terfokus kepada Nabi Luth.

Kemudain malaikat memberitahu Nabi Luth tentang kenyataan yang dihadapi dan mereka datang untuk menyelamatkan Nabi Luth dari kejahatan kaumnya. Mereka bermaksud membinasakan kaum yang bermoral bejat itu, tepatnya ketika saat pagi menjelang. Lalu malaikat memerintahkan Nabi Luth beserta kelurganya, selain istrinya, untuk segera pergi mengungsi, sedangkan istrinya ditinggal dan akan ditimpakan adzab Allah.

Maka beliau beserta keluarganya keluar mengungsi pada malam hari untuk menyelamatkan diri. Adzab pun datang tepat pada waktu Subuh. Allah membalikkan kampung-kampung mereka, yang di atas menjadi di bawah, kemudian bertubi-tubi menghujani mereka dengan hujan batu yang terbuat dari tanah yang terbakar.

Dalam hal ini, Allah berfirman, “Dan Kami turunkan hujan atas mereka (hujan batu), maka amat buruklah hujan yang ditimpakan atas orang-orang yang diberi peringatan itu.”(QS. An Naml:57) Maksudnya, alangkah buruknya hujan yang menimpa mereka. Alangkah buruknya adzab yang menimpa mereka. Disebabkan mereka tidak pernah menerima peringatan serta tidak pernah merasa takut terhadap adzab itu. Oleh karena itu, mereka tidak mau berhenti dan tercegah, lalu Allah mendatangkan kepada mereka adzab yang amat keras.[22]

  1. 7. “Kaum Luth-pun telah mendustakan ancaman-ancaman (nabinya).Sesungguhnya Kami telah menghembuskan kepada mereka angin yang membawa batu-batu (yang menimpa mereka), kecuali keluarga Luth. Mereka Kami selamatkan sebelum fajar menyingsing,sebagai ni’mat dari Kami. Demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang bersyukur, Dan sesungguhnya dia (Luth) telah memperingatkan mereka akan azab-azab Kami, maka mereka mendustakan ancaman-ancaman itu. Dan sesungguhnya dia (Luth) telah memperingatkan mereka akan azab-azab Kami, maka mereka mendustakan ancaman-ancaman itu. Dan sesungguhnya mereka telah membujuknya (agar menyerahkan) tamnuya (kepada mereka), lalu Kami butakan mata mereka, maka rasakanlah azab-Ku dan ancaman-ancaman-Ku. Dan sesungguhnya pada esok harinya mereka ditimpa azab yang kekal.Maka rasakanlah azab-Ku dan ancaman-ancaman-Ku .”(Qs. Al Qamar: 33-39)

Begitulah detail kisah Nabi Luth beserta kaumnya yang dipaparkan Al-Qur’an di banyak ayatnya, semuanya memaparkan tentang bahaya yang diakibatkan oleh perilaku bejat tersebut. Oleh karena itu, setiap muslim harus merenunginya.


[1]. Beliau adalah Seorang Khalifah Dinasti Bani Umayyah kedua, sekaligus pendiri Masjid Jami’ Damaskus

[2]. Ibnu Katsir, Tafsir Al Qur’an Al ‘Adzim, (Istambul: Dar Dakwah), jilid II, hal.230

[3]. Imam Adz-Dzahabi, Al Kabair, (Bairut: Dar Kutub Al Ilmiyah), hal.60

[4]. Ibnu Hajar Al-Haitami, Az-Zawajir ‘An Iqtiraf Al Kabair, (Bairut: Dar Kutub Ilmiyah), jilid II, hal.228

[5]. Ibid,, jilid II, hal. 231

[6]. Syaikh Al Albani menilai bahwa hadits ini shahih. Lihat Shahih At Targhib wa At Tarhib 2422, 2/311, Maktabah Al Ma’arif Riyadh.

[7]., hal. 629-630

[8]. Tirmidzi berkata: Hadits ini Hasan Gharib, Hakim berkata: Hadits Shahih Isnad, Abu Isa berkata: Hadits ini Hasan Gharib, sesungguhnya kami hanya mengetahui dari jalur ini dari Abdullah bin Muhamma bin ‘Uqail bin Abu Thalib dari Jabir.

[9]. Ibnu Hibban dalam Shahihnya menshahihkan hadits ini, keterangan: Hadits ini mencakup pula wanita dengan wanita

[10]. Yakni atsar dari Ibnu Abbas RA. Lihat: sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Abu Daud (4463, 4/157).

[11].  Hadits Tirmidzi: 1456, Abu Daud;3869, Ibnu Majah: 2561, dan Ahmad: 2496

[12]. Sayyid Sabiq, Fiqhu Sunnah, (Al-Qahirah: Dar al-fath lii’lam al ‘arabi, 2003), cet.pertama, juz 2, hal.576.

[13]. Hadits tersebut juga diriwayatkan oleh Abu Fath Al Azdi (dalam bukunya, Ad-Du’afa’) dan Thabrani (dalam bukunya, Al Kabir, dan riwayat lain dari Abu Musa. Di sana juga terdapat Basyr bin Mufadhdhal Bajali, orang yang tidak dikenal. Diriwayatkan pula dari Abu Daud Ath-Thayalasi (dalam Musnadnya). Hadits tersebut dianggap dha’if oleh Albani dalam Irwa’ Al Ghalil,8/16, no.2349. bisa juga dilihat dalam kitab Tuhfatul Ahwdhi, jilid 4, hal.385

[14]. Abdurrahman Al-Mubarakfuri, Tuhfatul Ahwadzi bi Syarh Jami’ Ati-Tirmidzi, (Al-Qahirah:  Dar Al-Hadits,1421 H/2001 M)cet.pertama, jilid.4, hal.386.

[15]. Ibid.

[16]. Ibnu Qudamah, Al Mughni,( Al Maktabah As-Salafiyah), juz.10, hal.160-162.

[17]. Ibnu Qayyim, Al Jawab Al Kafi,(Dar Al Furqan, 1413 H), cet.ke-1, hal.240.

[18]. Allah swt menamakan kecenderungan homoseksual sebagai kekejian (faahisyah), sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya, “Mengapa kamu mengerjakan perbuatan faahisyah itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun didunia ini sebelumnya?” (Qs.Al A’raaf:80)

[19]. Ibnu Katsir, Shahih Tafsir ibnu Katsir(Dar ibnu Rajab, 1427 H/2006 M), cet. Pertama, jilid2, hal.423-426.

[20]. Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’adi, Tafsir Al Karim Ar Rahman fi Tafsir Kalam Al Mannan,(Bairut: Mu’asasah Ar-Risalah.1423 H/2002 M), cet. Pertama, hal. 432-433

[21]. Ibid, hal.527

[22]. Ibid., hal.606

Tinggalkan komentar